Followers

animasi


DIRI Q

Foto Saya
//islam-di-indonesia-1991.blogspot..com
HAI,, Kenalin nama q Harnik.
Lihat profil lengkapku

kupu-kupu

Search

Archives

Search

RSS

Sabtu, 31 Desember 2011

Mencari titik temu islam dan indonesia

Mencari Titik Temu islam Dan indonesia

Oleh: H. Salahuddin Wahid
Pertentangan antara gagasan negara berdasar Islam dan negara berdasar Pancasila dimulai sebelum proklamasi kemerdekaan. Piagam Jakarta sebagai kompromi (22 Juni 1945) hanya bertahan sampai 18 Agustus 1945, saat sejumlah pemimpin Islam setuju pencoretan tujuh kata ’’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’’.
Pertentangan itu mencuat lagi saat Konstituante membahas UUD (1956–1959). Partai-partai Islam –Masyumi, Partai NU, PSII, dan Perti– melanjutkan perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Negara menemui jalan buntu karena dua pihak tidak mencapai jumlah minimum 2/3 jumlah anggota Konstituante untuk menentukan dasar negara. Atas desakan TNI-AD yang didukung parpol-parpol besar, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.
Pertimbangan dekrit menyebutkan bahwa Piagam Jakarta (PJ) menjiwai dan merupakan bagian tak terpisah dari UUD 1945. Pertimbangan Dekrit Presiden itu oleh sebagian tokoh dan umat Islam ditafsirkan bahwa PJ berkedudukan hukum kuat dan semestinya mempunyai pengaruh berarti dalam sistem perundang-undangan kita.
Tapi, dalam SU MPR 2001, upaya untuk memasukkan kembali tujuh kata PJ ke dalam pasal 29 UUD menemui kegagalan. Hanya belasan persen suara MPR yang mendukung, jauh di bawah angka sekitar 43 persen suara di Konstituante.
Pertentangan muncul lagi saat DPR membahas RUU Perkawinan yang diusulkan Golkar pada 1973. Dalam RUU itu, banyak pasal yang dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Terjadi demo di gedung DPR oleh banyak pemuda muslim. Dalam era Orde Baru yang otoriter, peristiwa itu sungguh menggemparkan.
PPP menolak tegas RUU tersebut. Rais Aam Syuriah PB NU KH Bisri Syansuri yang juga tokoh utama PPP memimpin gerakan penolakan itu. Dalam situasi kritis tersebut, Pak Harto bisa membaca situasi dengan tepat lalu cepat mengambil keputusan. Golkar dan FABRI diperintah mengikuti keinginan umat Islam melalui PPP. Karena itu, UU Perkawinan (UU No 1/1974) menjadi UU pertama yang mengakomodasi syariat Islam. Selanjutnya ada UU Peradilan Agama (UU No 7/1989).
Pembahasan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama yang berlangsung di DPR itu banyak ditentang kalangan non-Islam atau kelompok Islam yang menentang masuknya syariat Islam ke dalam UU. Sekarang UU Perkawinan telah berjalan cukup baik selama 37 tahun dengan memberikan kepastian hukum secara keagamaan dan secara kenegaraan, dengan beberapa catatan. Yang paling mengganggu adalah praktik nikah siri yang menjadi solusi bagi mereka yang berpoligami tanpa alasan kuat dan tanpa izin istri pertama. Sebenarnya praktik tersebut dilarang UU, tapi tak ada sanksinya. Karena itu, banyak orang yang melakukannya.
Masalah lain adalah pernikahan muslimah dengan lelaki non-muslim, yang sekarang tidak bisa didaftarkan di kantor catatan sipil, sehingga banyak yang melakukannya di luar negeri. Pembahasan masalah tersebut di DPR akan memicu pertentangan pendapat yang amat sengit, mirip kehebohan saat membahas UU Pornografi. UU Peradilan Agama telah membuat pengadilan agama menjadi pengadilan terbesar kedua setelah pengadilan negeri. Secara kelembagaan, pengadilan agama telah berkembang baik. Kekhawatiran terhadap adanya UU Peradilan Agama pada saat baru diundangkan ternyata tidak terbukti.

Penerimaan Pancasila
Munas Alim Ulama NU (1983) mengeluarkan dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang merupakan titik temu Islam dan Pancasila. Selanjutnya, NU dan hampir seluruh ormas Islam menerima asas Pancasila. Penerimaan Pancasila oleh ormas-ormas Islam itu membuat ’’Islam politik’’ mencair yang mengakibatkan perolehan suara partai-partai Islam merosot.
Ternyata, masalah hubungan Islam dan Indonesia belum selesai dengan diterimanya Pancasila oleh ormas-ormas Islam. Belum diperoleh titik temu antara (hukum negara) Indonesia dengan aspirasi dan hukum (dalam pandangan mayoritas) Islam, yang tampak nyata dalam menyikapi hak hidup Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
PB NU tidak punya pilihan kecuali meneruskan aspirasi mayoritas warga dan kiai NU yang meminta pembubaran JAI. PP Muhammadiyah dan ormas lain bersikap sama. Tapi, sejumlah cendekiawan muslim menghormati hak hidup Ahmadiyah. Harus dicari titik temu antara Islam dan Indonesia dalam masalah ini.
Pembubaran organisasi (apa pun) karena tekanan mayoritas warga negara tidak sehat bagi perkembangan demokrasi. Organisasi hanya bisa dibubarkan kalau melanggar hukum negara. Karena itu, solusi tuntas untuk masalah JAI hanya satu. Yaitu, membawa masalah tersebut ke pengadilan. Di dalam sidang, akan bisa dikemukakan semua tuduhan umat Islam tentang ada tidaknya kitab suci Tadzkiroh. Juga, dapat ditelusuri apakah betul ada pendapat Ahmadiyah bahwa umat Islam lain adalah kafir sebagaimana pemberitaan media online.
Pihak penggugat harus mengajukan saksi ahli yang punya argumentasi kuat dan wawasan luas dengan penguasaan materi HAM yang memadai. JAI akan didukung para aktivis HAM, termasuk para cendekiawan muslim. Perdebatan dalam sidang pengadilan akan menjadi masukan amat berharga bagi upaya mencari titik temu antara syariat Islam dengan demokrasi dan HAM. Bukan saja untuk Indonesia, tapi juga dunia.
Proses di pengadilan itu harus dijaga dari tekanan massa. Hakim yang dipilih adalah yang jujur dan punya keteguhan sikap serta keberanian, walau ditekan massa. Kalau JAI dinyatakan berhak hidup di Indonesia, semua pihak harus menghormati dan tidak boleh lagi ada kekerasan. Bila JAI dinyatakan menodai Islam dengan bukti telah melanggar hukum sehingga harus dibubarkan, perlu dipikirkan masalah ikutan yang timbul. Apakah kalau warga JAI tetap pada keyakinan mereka berarti juga melanggar hukum, sehingga harus ditahan? Apakah ada cukup rutan untuk menahan mereka? Apakah kita perlu memikirkan tanggapan dunia internasional terhadap tindakan membubarkan JAI itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.